Konflik antara Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo belakangan ini kembali menyeruak ke ruang publik. Perseteruan yang bermula dari kebijakan mutasi pejabat seakan menjadi tontonan baru, sayangnya bukan tontonan membanggakan. Alih-alih memberi inspirasi, justru menghadirkan ironi: pemimpin yang harusnya fokus bekerja, malah sibuk memperdebatkan ego.
Di tengah sorotan itu, berbagai kalangan masyarakat ikut bersuara. Nada mereka senada: kecewa.
“Sidoarjo Bukan Tentang Perasaan Elit”
Haryadi, tokoh Gerakan Non Blok (GNB) sekaligus Direktur Parliament Watch Sidoarjo, dengan lantang menyampaikan keresahannya.
“Wes wayae mbangun Darjo sesuai janji politik yang sudah terucap saat Pilkada. Elit berhenti berkonflik, jangan sibuk cari pembenaran dan keras kepala. Bekerjalah dengan pedoman UU Nomor 23 Tahun 2014, nggak perlu ditafsir-tafsir lagi,” tegasnya.
Menurutnya, para kepala daerah seharusnya sudah memahami aturan tersebut sejak awal. “Bukankah saat dilantik mereka ikut retreat di Magelang, hanya untuk membahas UU itu? Kalau masih penuh tafsiran, wes keterlaluan. Sidoarjo bukan tentang perasaan elit, tapi kerja nyata. Kalau sudah tidak sanggup, mundur saja,” tambahnya.
Tagline ‘Sidoarjo Apes’ Berkibar Lagi
Kritik juga datang dari Ludi, seorang tokoh budaya. Ia menilai konflik terbuka yang dipamerkan lewat media massa dan media sosial adalah cermin dari minimnya kedewasaan politik.
“Potensi konflik itu pasti ada. Tapi harusnya diselesaikan secara internal, bukan diumbar. Dalih apapun hanya menimbulkan persepsi negatif di masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, publik kini terjebak dalam kekecewaan. Wajar bila muncul kembali sindiran lama: “Sidoarjo Apes.” Sebuah ekspresi getir dari warga yang merasa salah memilih pemimpin dalam Pilkada lalu.
Satu Paket yang Retak
Hal serupa diungkapkan H Totok, tokoh masyarakat dari Sidoarjo Barat. Ia menilai perselisihan ini tak lepas dari adanya penyimpangan dari kesepakatan awal antara Bupati dan Wakil Bupati.
“Masyarakat dulu tahunya memilih satu paket. Kalau sekarang pecah kongsi, itu urusan mereka, bukan masyarakat. Kalau ada pelanggaran hukum, ya biar hukum yang menyelesaikan. Itu lebih adil,” katanya.
Bagi Totok, harapan terbesar hanyalah agar konflik ini segera berakhir dengan damai. “Masyarakat menunggu janji yang dulu dikampanyekan, bukan pertengkaran,” tandasnya.
Ketika Masyarakat Jadi Korban
Slamet, tokoh Ansor Sidoarjo, menyayangkan energi yang seharusnya untuk membangun justru terkuras oleh konflik internal.
“Ketika maju dulu, mereka sudah siap curahkan tenaga, pikiran, waktu, dan biaya untuk rakyat. Sayangnya, sekarang justru masyarakat yang habis waktunya memikirkan ketidakharmonisan pemimpinnya,” keluhnya.
Bagi Cak Slamet, bila memang sudah tak bisa dipertahankan, lebih baik diselesaikan secara hukum. “Kalau Bu Mimik sudah tidak bisa mentoleransi Pak Subandi, dan Pak Subandi merasa paling benar, ya berperkara saja. Biar ini jadi pelajaran bagi pemimpin berikutnya,” pungkasnya.
Harapan yang Tersisa
Di balik semua kritik, masyarakat Sidoarjo masih menyisakan harapan. Bahwa para elit yang kini berseteru akan kembali duduk bersama, menurunkan ego, dan menomorsatukan kepentingan rakyat.
Sidoarjo membutuhkan kerja nyata, bukan drama politik. Karena pada akhirnya, yang paling rugi dari konflik berkepanjangan bukanlah para elit, melainkan rakyat yang hanya bisa menonton dari bangku penonton.
Editor: Badruz

